Minggu, 23 Oktober 2011

PUSTAKAWAN

ARTIKEL
PSIKOLOGI PERPUSTAKAAN

Judul :
“GEJOLAK PUSTAKAWAN”

Oleh :
MARIA DESI SWISTA DEWI
A2D009095


UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS ILMU BUDAYA S1 ILMU PERPUSTAKAAN
2010



“Gejolak Pustakawan”
Psikologi
Psikolologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jiwa. Asal mula kata psikologi berasal dari bahasa Yunani, yang mana “psyche” berarti jiwa dan “logos” berarti pengetahuan. Dari arti kata tersebut maka beberapa filosof mengartikan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jiwa. Banyak perbedaaan pendapat mengenai ilmu psikologi tapi dari kesemuanaya memiliki kesamaan yaitu mempelajari tentang jiwa.

Ki Hajar Dewantara mengatakan psikologi adalah ilmu jiwa manusia. Dapat diartikan bahwa jiwa adalah kekuatan yang menjadi penggerak manusia. Sedangkan menurut Aristoteles, psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kehidupan. Dalam Ilmu Psikologi tidak hanya membahas tentang kehidupan manusia saja akan tetapi semua makhluk hidup di dunia ini. Berdasarkan pendapat Aristoteles, ilmu jiwa dibagi menjadi tiga Anima yaitu anima vegetative (tumbuhan), anima sensitive (hewan) dan anima intelektiva (manusia).

Meskipun dari jaman dahulu hingga sekarang tidak ada kesepakatan mengenai pengertian jiwa, namun dari banyak filosof atau para ahli, mendefinisikan bahwa Ilmu Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia.
Perpustakaan
Perpustakaan adalah sebuah gedung yang didalamnya terdapat bahan pustaka (baik buku maupun non buku), sebagai tempat recreasi, penelitian, pendidikan, pusat informasi serta terdapat pustakawan dan pemustaka. Dari pengertian tersebut banyak yang dapat dipelajari mengaenai psikologi dari masing-masing bagian dari perpuastakaan, sehingga muncul ilmu yang disebut  psikologi perpustakaan. Salah satunya mengenai kepustakawanan yang merupakan bagian terpenting dari perpustakaan.

“Pustakawan” kata yang sering kita dengar dilingkungan perpustakaan. Sampai saat ini masih banyak yang mempertanyakan pekerjaan seorang pustakawan, “apakah pustakawan juga merupakan profesi?”. Banyak orang yang tidak suka bekerja sebagai pustakawan, karena mereka mengangap pekerjaan pustakawan sangatlah membosankan. Mereka selalu berfikir pustakawan hanya menata buku dan melayani peminjam. Menurut Sulistyo Basuki dalam bukunya dijelaskan bahwa pustakawan dapat dikatakan profesi atau tidak, hal ini tergantung terhadap tanggapan pustakawan terhadap profesi dan jasa yang diberikan pustakawan serta pandangan masyarakat terhadap pustakawan itu sendiri.
Bila seorang pustakawan ingin memperoleh kemajuan dalam bidang tugasnya, maka seharusnya seoarang pustakawan harus bertindak profesional sebagai pengelola perpustakaan selaku pendidik. Pustakawan harus bisa mengembangkan dan menciptakan perpustakaan sebagai tempat yang bukan hanya untuk sekedar tempat untuk membaca buku, melainkan bisa menjadi lembaga belajar non formal. Dengan kata lain pustakawan dapat berperan menjadi seorang pendidik bagi masyarakat pembaca. Hal ini dapat ditonjolkan dalam lingkungan pendidikan, seperti Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Perguruan Tinggi. Disini seorang pustakawan akan memiliki peranan penting dalam kegiatan proses belajar, karena perpustakaa merupakan sumber media utama belajar.
Berdasarkan Undang-undang RI no 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dijelaskan pada pasal 29 samapi 37 mengenai kepustakawanan tentang ketenagaan perpustakaan, tugas-tugas pustakawan, pendidikan dan organisasi profesi. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa profesi pustakawan bukan profesi yang ecek-ecek yang sembrang orang bisa menjadi seorang pustakawan. Jadi siapa pun yang telah menjadi pustakawan atau yang belum, tidak perlu takut akan profesi pustakawan.
Pernyataan di atas memang benar, akan tetapi dalam implikasinya dalam dunia kerja berkata lain. Banyak pustakawan yang mengalami ketidakadilan dari masyarakat atau lembaga institusi perpustakaan bernaung. Pustakawan bisa dikatakan “anak tiri”. Hal ini bukan hanya satu atau dua pustakawan yang mengalami. Ada kisah nyata problem pustakawan yang terjadi dilingkungan perusahaan besar. Dalam kisah ini begitu jelas bahwa mereka menganggap rendah profesi seorang pustakawan.
Ada seorang pustakawan yang sudah mmelaksanakan tugasnya sesuai peraturan yang berlaku di perpustakaan tersebut. Pustakawan melakukan pemblokiran terhadap seoarang pelanggan, sebut saja Si “A”. Pustakawan ini melakukan tugasnya dengan benar karena Si-A sudah melanggar peraturan yang berlaku diperpustakaan. Beberapa hari setelah pemblokiran ada seseorang yang menelpon kebagian pusat perpustakaan dan meminta membatalkan pemblokiran tersebut. Pimpinan perpustakaan tidak bisa mengambil keputusan sebelah pihak dengan menyetujui permintaan si penelpon, walaupun penelpon memiliki pengaruh besar di PT. Kemudian pimpinan memanggil pustakawan yang telah melakukan pemblokiran terhadap Si A dan pustakawan menjelaskan duduk perkaranya. Pimpinan perpustakaan menerima penjelasan pustakawan dan membenarkanya. Beberapa menit kemudian si penelpon menghubungi kembali dan tetap minta untuk membatalkan pemblokiran, apapun alasanya. Pimpinan berusaha untuk tidak mangabulkan permintaan si penelpon, akan tetapi dengan kekuasaan yang dimiliki si penelpon, akhirnya pimpinan perpustakaan menerima untuk menarik kembali pemblokiran dan menyuruh pustkawan membatalkanya. Pustakawan tersebut berusaha untuk tidak menyetujui keputusan pimpinanya, tapi apa daya ketika pimpinan perpustakaan mengatakan “turuti ja permintaannya, apa kuasa kita?.., hanya seoarang pustakawan biasa..!”, dengan hati sangat kecewa dan marah pustakwan itu melaksanakan perintah pimpinanya. Dalam hati berkata “ ya Allah kuatkanlah kami sebagai pustakawan dan tunjukkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”.
Kisah kedua, seorang pustakawan sekolah di SMA Negeri 1 Teladan Yogyakarta menuliskan sebuah pengalamanya nyata ketika menghadiri acara tentang kepustakawanan yang bertema “ Seleksi Pustakawan Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2010”. Nampak bahwa pustakawan belum banyak dikenal orang banyak, ini terbukti saat seorang pustakawan mengadiri acara tersebuat ada ibu-ibu yang tampak berpendidikan tapi tidak tahu apa itu pustakawan. Ibu itu bertanya pada pustakawan tersebut seperti ini, “mas pustakawan itu apa? Trus apa tugasnya? Kok ada lomba pustakawan? Yang dilombakan apa?” . Tapi sayang pustakawan tersebut belum sempat menjawab pertanyaan si Ibu-ibu itu. Dia hanya berkata dalam hati, “kasihan banget ya nasib pustakawan Indonesia, padahal kalau di luar negeri (Amerika, inggris) pustakawan bisa setaraf professor lho”.
Berikut cerita menarik di lingkungan pegawai negeri sipil yang menyebabkan imej pustakawan menjadi sangat rendah. “ Kenapa hal ini bisa terjadi?” Terbukti bahwa selama ini di daerah pegawai negeri sipil yang ditempatkan dikantor perpustakaan umum (baik UPTD atau berdiri sendiri)  biasanya terdiri dari orang-orang yang memiliki kategori ;
1.      pegawai bermasalah
2.      pegawai buangan
3.      pegawai tak berprestasi
4.      pejabat yang mengalami sakit berat
5.      pejabat yang menjelang pensiun
6.      dan tempat persinggahan sementara bagi calon pejabat yang akan naik jabatan
Dari keenam pernyataan tersebut membuktikan betapa rendahnya profesi seorang pustakawan. “Apakah kita akan terus menerima nasib seperti ini selamanya? tentu tidak!”. Pustakawan yang selalu menjadi anak tiri di lingkungan keprofesian akan segera berakhir. Sebagai pustakawan harus optimis bahwa nasib pustakawaan Indonesia akan mendapatkan hak yang sama selayaknya pegawai negeri sipil dan pegawai-pegawai yang lain.
Profesi
Pustakawan adalah profesi, maka untuk menjadi pustakawan perlu criteria-kriteria tertentu yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu sesuai dengan yang akan dikerjakan. Menurut Sulistyo Basuki, profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari teori dan bukan saja praktek dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak kepada yang bersangkutan untuk berhubungan dengan nasabah. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pustakawan adalah tenaga profesi yang salah satu kriterianya adalah memiliki ijasah atau telah mengikuti pendidikan dan pelatihan fungsioaal tentang kepustakawanan dan mendapatkan sertifikat.
Sejak tahun 80an mungkin hingga sekarang, pustakawan masih diangkap pegawai buangan atau dianggap rendah oleh masyarakat. Padahal hal ini sangatlah salah jika sampai saat ini masih beranggapan pustakawan adalah penjaga buku yang kerjaanya hanya merapikan dan membersihkan buku-buku tua yang usang . Dari pengertian yang diuraikan Sulistiyo Basuki terbukti pustakawan bukan profesi yang buruk atau profesi yang memalukan, karena saat ini pekerjaan pustakawan lebih bergengsi, hampir setiap hari pustakawan selalu berhadapan dengan teknologi, mengotak-atik softwere, input informasi-informasi dan pengetahuan-pengetahuan terbaru serta selalu berhubungan dengan masyarakat luas.
Kode etik
Masalah etika bukan sesuatu yang baru bagi kehidupan umat manusia, tetapi menjadi hal penting yang harus selalu diperhatikan. Tidak terkecuali dalam lingkup kerja perpustakaan, pustakawan yang merupakan bagian penting perpustakaan dituntut memiliki etika agar tercipta interksi yang harmonis dan suasana kerja yang kondusif. Masalah etika pada profesi pustakawan juga diatur dalam suatu kode etik yang disebut Kode Etik Pustakawan. Kode etik adalah sistem norma, nilai, dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan mana yang benar dan yang baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional (Wiji Swarno, 2010:92). Kode etik pustakawan merupakan pijakan awal bagi para profesionl di bidang perpustakaan (pustakawan) dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga pustakawan tidak bisa seenaknya dalam bekerja, mereka harus bisa bersikap professional dalam mengemban tugas-tugas yang diperoleh di perpustakaan.
Sebagai generasi muda Indonesia calon pustakawan, janganlah takut untuk terus maju menjadi pustakawan yang berkopeten dan professional.  Pustakawan bukan hanya sebagai pemberi atau penerima informasi, tetapi pustakawan diharapkan juga sebagai pendidik bagi masayarakat pembaca maupun umum. Dengan adanya UU ketenagaan kerja perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan, sudah jelas bahwa profesi pustakawan bukan “anak tiri” lagi dalam dunia keprofesian. Pustakawan harus selalu percaya diri dalam mengemban tugasnya dan bisa membuktikan pada masyarakat bahwa pustkawan bukan profesi yang terisolasi dan memlukan.












Sumber - sumber:
Basuki, Sulistyo. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991
Walgito, Bimo. Peangantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi, 2004
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2007
Suwarno, Wiji. Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar